Tinggalkan komentar

Kritik Ideologi dalam Pembelajaran Berbasis E-Learning

Oleh Arjuna Putra Aldino

Di era Teknologi Informasi saat ini, dimana sarana teknologi semakin maju pesat guna menunjang kecepatan arus informasi dalam kehidupan manusia. Teknologi merupakan simbol peradaban Renaissance dan Aufklarung dimana cita-cita luhurnya adalah untuk melahirkan kembali manusia yang bebas, yang telah dibelenggu oleh zaman pertengahan yang dikuasai oleh Gereja atau Agama. Bebasnya manusia dari otoritas tradisi dan agama serta menaruh kepercayaan besar pada rasionalitasnya, dinyatakan telah mencapai kedewasaannya. Daya dorong dalam perkembangan Teknologi adalah kehendak manusia untuk menguasai dan menundukan alam serta di manfaatkan untuk kesejahteraan hidup umat manusia.  Dalam titik puncaknya, manusia take off dan terbang menuju kemajuan dengan kecepatan kreasi dan inovasi tiada henti untuk menaklukan dan menundukan alam guna dimanfaatkan untuk kepentingan hidupnya. Disinilah Teknologi menjadi kekuatan yang sakti mandraguna seperti apa yang kita lihat saat ini. Dalam kerangka kebudayaan, Teknologi hadir sebagai Ideologi kehidupan modenitas.

Teknologi menjadi sikap hidup manusia modern. Sehingga menjadi kerangka berfikir yang dominan dalam kebudayaan masyarakat modern. Dalam pengertian tradisi pemikiran Mazhab Frankfrut terutama Habermas, Rasio manusia modern di dominasi oleh Sistem Rasional Bertujuan. Sistem rasional-bertujuan adalah pertumbuhan kekuatan dan perluasan kontrol teknik. Hebert Mercuse pun menyatakan bahwa prinsip umum dari Teknologi adalah apriori yang distrukturkan sedemikian rupa sehingga membentuk kerangka operasionalisme instrumental.

Disinilah kesadaran manusia menjadi Kesadaran Teknokratik, dimana manusia telah diatur, diarahkan dan di kendalikan bahkan eksistensinya di tentukan oleh Teknologi. Teknologi merupakan Ideologi yang menjadi alat legitimasi kebudayaan manusia modern. Teknologi menjadi “mitos” baru bagi kehidupan di era modernitas. Dengan semakin luasnya kekuasaan dan kontrol teknik telah melumpuhkan jiwa kemanusiaan dan etis, serta digantikan dengan jiwa “manusia mesin”. Dunia Pendidikan pun tidak lepas dari pengaruh kultur teknologis, dimana proses pembelajaran menggunakan bantuan teknologi elektronik. Hal ini dikenal dengan pembelajaran berbasis E-Learning. Dalam proses pembelajaran berbasis E-Learning, Hakikat Belajar dipandang sebagai Pemrosesan Informasi.

Proses belajar dipandang sebagai proses pengolahan informasi dan sebagai proses kognitif untuk memperoleh pengetahuan atau informasi yang disimpan dalam memori jangka panjang. Belajar sebagai perolehan pengatahuan dengan mekanisme penyimpanan informasi yang meliputi tiga tahap, yaitu perhatian (attention), penulisan dalam bentuk simbol (encoding), dan mendapatkan kembali informasi (retrieval). Disinilah pembelajaran berbasis E-Learning bersifat Instrumental dan menciptakan dominasi berfikir Rasional Bertujuan. Pemahaman diri manusia di tundukan dibawah kategori-kategori tindakan rasional-bertujuan sehingga tingkah laku manusia hanya sekedar bersifat adaptif.

Hal ini akan menimbulkan Kesadaran Teknokratik yang berwatak totalitarianisme, dimana rasio manusia beralih “kontrol teknis atas objek”. Kekuatan rasio manusia direduksi ke dalam kekuatan kontrol teknis. Sebuah kemestian,berbeda berarti musuh, karena rasio manusia terbingkai ke dalam dimensi yang sama yakni Rasio Teknologis. Hal ini akan melahirkan tanda-tanda lenyapnya kedalaman (deepnes) di dalam kehidupan manusia. Sehingga manusia lebih menyenangi “gaya” ketimbang “makna”, lebih menghargai penampilan ketimbang kedalaman, lebih mengenal kulit ketimbang isi. Manusia hanya diartikan hanya sebagai bagian piranti kehidupan. Rasionalitas Teknologis hanya memandang dan menghargai segala sesuatu sejauh dapat diperalat, dikuasai, digunakan, atau dimanipulasi.

Dalam pembelajaran E-Learning, rasio manusia hanya dibentuk dengan pilihan teknik yang sesuai dengan rasionalitas teknologis yakni akan melakukan rutinisasi keputusan atas dasar nilai-nilai seperti: efiseiensi, efektivitas, produktivitas dan seterusnya. Dampaknya bahwa norma-norma tindakan instrumental juga memasuki bidang kehidupan lainnya (cara hidup, sikap dll) mengalami teknisasi, yang terjadi adalah bahwa jenis tindakan yang bertujuan rasional menjadi berlaku umum. Sekularisasi dan hilangnya daya pesona pandangan-pandangan dunia yang mengarahkan tindakan, tradisi kebudayaan secara keseluruhan merupakan segi negatifnya dari suatu pertumbuhan rasionalitas bertujuan. Bagi Kesadaran Teknologis, hubungannya dengan orang lain atau masyarakat bukanlah relasi meminjam istilah Martin Buber “Aku-Engkau (Ich Du)”, melainkan “Aku-Itu (Ich Es)”.

Relasi Aku-Itu, menurut Buber, merupakan dunia pengalaman (erfahrung) di mana Aku menggunakan, menyusun, dan memperalat benda-benda (Itu). Dunia erfahrung ini ditandai dengan kesewenang-wenangan, sebab semuanya diatur menurut kategori-kategori seperti milik dan penguasaan. Sedangkan relasi Aku-Engkau merupakan dunia hubungan (beziehung) dimana Aku menyapa Engkau dan Engkau menyapa Aku, sehingga terjadi dialog. Fenomena demikian apa yang dikatakan oleh McLuhan sebagai determinisme Teknologi. Maksudnya adalah penemuan atau perkembangan teknologi komunikasi itulah yang sebenarnya yang mengubah kebudayaan manusia. Setiap kejadian atau tindakan yang dilakukan manusia itu akibat pengaruh dari perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi tersebut tidak jarang membuat manusia bertindak di luar kemauan sendiri. Manusia semakin didominasi oleh teknologi komunikasi yang diciptakannya sendiri.

are-we-moving-towards-being-borgs-the-cyberculture-trend

Teknologi komunikasi bukannya dikontrol oleh manusia namun justru manusia yang dikontrol oleh Teknologi. Maka menurut McLuhan eksistensi manusia ditentukan oleh perubahan mode teknologi. Teknologi akan menghadirkan “Tirani” melalui jalur manipulasi. Dimana manusia ditindas oleh sesuatu yang “anonim” yakni Sistem Teknologi. Manusia bersama-sama merayakan  “techno-positivism”, dimana hidup manusia mengacu pada ideologi yang didasarkan pada keyakinan bahwa kemajuan Teknologi yang pada akhirnya akan membawa kebaikan dan kesejahteraan, atau setidaknya membantu untuk memenuhi satu atau lain yang ideal. Manusia dalam titik kemajuan modernitas, telah dihantar pada sebuah situasi yang sedemikian krusial. Bahkan, teknologi telah merasuki simpul-simpul kesenangan dan simbolisasi manusia.

Kehidupan manusia bisa sedemikian nyaman dan aman sehingga manusia “bisa tidur nyenyak” dalam keterbatasannya sebagai manusia. Giddens pernah menyatakan situasi semacam ini sebagai ontological security. Modernitas dan kemajuan Teknologi modern telah melahirkan kisah kebebasan beragama, kemajuan transpotasi, perkembangan teknologi informasi, keterjaminan pangan, penerangan listrik, komunitas melting pot, dan masih banyak lagi. Teknologi dan modernitas telah mencanangkan janji dan ideologi kehidupan manusia yang lebih baik, membuat manusia semakin pintar, lebih bahagia dan sebagainya. Disinilah sebenarnya, Teknologi tidak objektif dan tidak bebas nilai (value-free). Jelas terlihat adanya keterkaitan antara teknologi dengan praksis ideologis.

hhhh

Terjadinya penipuan ideologis karena eksistensi individu hanya digambarkan sebagai sesuatu yang luhur sedangkan sebenarnya tidak ada. Pada kenyataannya individu justru diperbudak dan kuasa teknologilah yang berhak menentukan tujuan manusia. Rasio hanya menjadi instrumen belaka, sebagai alat kalkulasi, verifikasi, pelayan klasifikasi yang setia pada tujuan diluar dirinya yaitu kepentingan ideologis. Di balik rasionalitas yang dibangun ternyata memunculkan irrasionalitas baru. Sehingga rasionalitas instrumental tidak lain hanyalah mitos baru dalam masyarakat modern. Itulah sebuah kritik di era manusia yang mengalami penyakit “techno-positivism”  sebagai robot-robot girang (cheerful robot).

Tinggalkan komentar