Tinggalkan komentar

Kurikulum Baru dan Pasar Bebas

Oleh Arjuna Putra Aldino

Sudah bukan berita baru bahwa Negara kita sudah terlibat aktif dalam perdagangan bebas internasional, mulai dari masuknya Indonesia dalam keanggotan WTO, China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA), G-20, dan sebentar lagi akan memasuki Asean Free Trade Area (AFTA) pada tahun 2013. Adanya upaya perubahan struktural perekonomian Indonesia secara bertahap dari negara berkembang dengan struktur perekonomian berbasis pertanian menuju negara maju berbasis industri.

Artinya secara pasti aktivitas ekonomi Indonesia secara bertahap menuju pada konsep Industrialisasi guna meraih pangsa pasar internasional dengan adanya kegiatan produksi yang efektif dan efisien. Bahkan agenda menuju Negara Industri merupakan bagian master plan dari program Repelita di zaman orde baru antara lain Repelita III (1979-984) yang menekankan bidang industri padat karya untuk meningkatkan ekspor serta Repelita IV (1984-1989) yang bertujuan menciptakan lapangan kerja baru dan industri.

Salah satu instrumen yang perlu dipersiapkan dalam menghadapi pasar bebas adalah pemenuhan sumber daya manusia (SDM) dalam negeri yang memiliki daya saing, yakni pemenuhan kebutuhan tenaga kerja terdidik, kreatif dan terampil bagi industri untuk menggejot produktivitas. Karena dalam perdagangan bebas produktivitas industri akan barang-barang atau produk yang berkualitas harus diutamakan untuk meraih pangsa pasar internasional.

Bukan hanya itu, selain investasi salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas dan beretos kerja tinggi. Alternatif untuk memenuhi tuntutan tersebut yakni melalui Pendidikan. Pendidikan menjadi jembatan kebutuhan akan kemungkinan-kemungkinan perkembangan ekonomi.

Peranan pendidikan yakni dalam rangka menopang politik ekonomi nasional yang memfokuskan diri pada upaya keras untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi dengan berbasiskan pada orientasi aktivitas industrial. Modal manusia berperan secara signifikan, bahkan lebih penting daripada faktor teknologi, dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Semakin besar jumlah tenaga kerja (yang berarti laju pertumbuhan penduduk tinggi) semakin besar pendapatan nasional dan semakin tinggi pertumbuhan ekonomi. Menurut Edward Denison dan Theodore Schultz (dalam Tobing, 1997), manusia yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, yang diukur juga dengan lamanya waktu sekolah, akan memiliki pekerjaan dan upah yang lebih baik dibanding yang pendidikannya lebih rendah.

Apabila upah mencerminkan produktivitas, maka semakin banyak orang yang memiliki pendidikan tinggi, semakin tinggi produktivitas dan hasilnya ekonomi nasional akan bertumbuh lebih tinggi. Maka Pendidikan harus menekankan transformasi yang bersifat industrialisasi. Pendidikan dalam hal ini mengarahkan pencapaian kompetensi (competency achievement) siswa dalam dunia usaha dan industri.

Upaya untuk mengarahkan output Pendidikan agar sesuai dengan agenda perekonomian nasional (pasar bebas dan industrialisasi) yakni melalui Kurikulum. Kurikulum harus disusun dengan mata pelajaran yang membekali ilmu pengetahun dan ketrampilan agar dapat menghasilkan tenaga manusia yang terdidik dan terampil. Hal ini tercermin dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), KTSP serta Kurikulum Baru (2013).

Kurikulum Baru (2013) ini berkonsentrasi menghasilkan teknokrat-teknokrat ilmiah serta upaya kulturisasi masyarakat agar sesuai dengan atmosfer industrialisasi. Kurikulum Baru (2013) menekankan pembelajaran dengan pendekatan berbasis Sains (Kompas edisi Senin, 26 November 2012). Sains sebagai penggerak mata pelajaran lain.

Disini jelas Kurikulum dirancang untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja berbasis sains dan teknologi yang profesional untuk menunjang industrialisasi dan rekayasa industri di masyarakat sesuai dengan semangat pasar bebas. Hal ini untuk menciptakan nuansa teknokrasi ilmiah di mana dengan tenaga-tenaga manusia yang berpengetahuan ilmiah ditempatkan sebagai agen perencanaan atau generalis yang akan mengemudikan orientasi dan arahan kehidupan masyarakat industri modern. Guna menyongsong era industrialisasi dan pasar bebas di Indonesia, sumber daya manusia merupakan output untuk modal utama pembangunan. Sumber daya manusia ini sangat diperlukan untuk dipekerjakan sebagai instrumen teknostruktur di sektor modern.

Disini jelas praktik Pendidikan yang tercermin dalam Kurikulum Baru ini berorientasikan efisiensi ekonomi/industrialisasi melalui pendekatan pendidikan yang mengutamakan serta berbasiskan sains dan teknologi, sains menjadi penggerak. Terdapat pendegradasian identitas Pendidikan, Pendidikan yang seharusnya merupakan upaya humanisasi kehidupan individu melalui pemberdayaan setiap individu sebagai mahkluk yang bebas untuk mengembangkan potensinya berganti menjadi “Pabrik Kuli”. Pendidikan hanya menghasilkan “Kuli-kuli Ekonomi”.

Pendidikan seharusnya ada untuk memanusiakan manusia, bukan manusia ada untuk Pendidikan. Disinilah terdapat dehumanisasi melalui Pendidikan. Pendidikan bukan upaya investasi pengetahuan dan ilmu kemudian berharap akan berlipat ganda di masa depan. Proses pendidikan harus dilakukan dengan kesadaran untuk belajar memahami realitas secara bersama-sama sehingga seseorang menjalani penyadaran (conscientizacao), agar tidak terjadinya dehumanisasi dalam Pendidikan.

Pendidikan dalam hal ini terjebak pada logika pasar dan motif ekonomis. Konsekuensinya posisi Kurikulum harus di Standarisasi oleh Negara baik dari kualitas lulusan, kenaikan angka akademik dan kriteria evaluasi Pendidikan diletakan dalam “kompetensi ekonomis”. Disinilah Pendidikan menggunakan mainstream pasar dan industrialisasi. Ini termanifestasikan dalam standarisasi seperangkat mata pelajaran oleh Negara kepada guru dan siswa. Disini siswa tidak lagi diperjuangkan menjadi intelektual kritis melainkan menjadi “kuli”. Pendidikan hanya sebagai mesin pencetak tukang demi upaya menggejot pertumbuhan ekonomi dan menopang industrialisasi.

Tinggalkan komentar