Tinggalkan komentar

Syndrome “Mental Inlander” (Mental Kaum Terjajah)

Oleh Arjuna Putra Aldino

Kurang lebih 350 tahun bangsa kita dijajah oleh belanda, penjajahan yang begitu lama bukan berarti tidak meninggalkan jejak mental yang telah menggurita bahkan telah menjadi watak yang sering ditampilkan sebagai watak kaum terjajah. “Mental Inlander” yang sekirannya cocok sebagai sebutan mental kaum terjajah. “Inlander” berasal dari bahasa Belanda yang berarti “Pribumi” atau “Masyarakat asli’. Belanda membagi stratifikasi kelas masyarakat menjadi tiga kelompok.  Penduduk Hindia-Belanda menurut undang-undang tahun 1854 termasuk dalam strata yang paling rendah atau dimasukkan semua penduduk pribumi Nusantara tidak disamakan statusnya dengan kelompok Europeanen atau bangsa Eropa.

Belanda selalu melakukan doktrin bahwa warga pribumi adalah bangsa yang bodoh dan hanya pantas menjadi budak belanda, bangsa yang selalu duduk dibelakang karena tidak penting kehadirannya saat acara-acara besar diselengggarakan oleh Pemerintah Belanda. Hal ini memberikan tekanan mental tersendiri sampai sekarang pada bangsa yang biasa disebutnya “Bangsa Inlander”. Wujud dari sindrom mental inlander yakni bangsa kita tidak percaya diri, tidak yakin dengan kemampuan sendiri, selalu menganggap bangsa lain lebih unggul, lebih bagus, lebih berpengalaman, dan lebih pintar.

Cara-cara satu-satunya untuk maju adalah mengikuti jejak mereka, meniru apa yang mereka lakukan dan mengimplementasikan yang sekiranya baik yang sudah mereka buktikan. Dengan demikian kita tidak mampu membaca keunggulan dan potensi yang benar-benar milik kita sendiri. Hal ini menyebabkan bangsa kita “gagap” dalam menghadapi masalah. Bagaimana tidak gagap jika solusi yang digunakan adalah hasil kontemplasi dari bangsa lain yang kita bangga-banggakan. Contohnya, dalam sistem perpolitikan Nasional kita selalu gagap mencari sistem ketatanegaraan yang cocok untuk bangsa ini. Mulai dari sistem parlementer, totalitarian, demokrasi liberal sampai demokrasi langsung yang habis kita uji cobakan. Seakan-seakan bangsa ini tidak mempunyai fondasi yang jelas. Dalam sistem ekonomi, kita habis-habisan mengagung-agungkan sistem ekonomi liberal yang kebarat-baratan yang ditandai oleh banyaknya Perusahaan asing yang bercokol di depan mata kita.

Mulai dari industri pertambangan, pertanian, perkebunan, telekomunikasi, transportasi, perikanan sampai dengan industri makanan dan minuman. Tengok saja ketika bangun tidur anda minum Aqua (74% sahamnya dikuasai Danone asal Perancis) atau minum teh Sariwangi (100% sahamnya milik Unilever Inggris), minum susu produk Sari Husada (82% sahamnya dikuasai Numico Belanda) atau bahkan susu Nestle (100% Australia). Begitu juga ketika mandi, sebagian besar memakai sabun, syampho, sikat gigi produk Unilever. Mau belanja ke supermarket Carrefour milik Perancis, ke Alfa pun sudah menjadi milik Carrefour dengan penguasaan saham 75%, atau ke Giant hypermart milik Dairy Farm Internasional Malaysia yang juga pemilik saham supermarket Hero, atau malam-malam mencari cemilan ke Circle K yang merupakan waralaba asal Amerika Serikat.

Mau menabung atau mengambil uang di bank swasta nasional (BCA, Danamon, BII, Bank Niaga) dan bank swasta lainnya yang hampir semuanya milik asing sekalipun masih tetap melekat nama bank swasta nasional dibelakangnya. Bangun rumah memakai semen Tiga Roda bikinan Indocement (61,70% milik Heidelberg Jerman), atau pakai semen Gresik yang sudah menjadi milik Cemex Mexico. Begitu juga semen Cibinong setali tiga uang 77,37% sahamnya dimiliki Holchim Swiss. (Swa, Juli 2006 dalam Etty Soesilowati, 2010)

Dengan berkeyakinan adanya pengakuan hak milik secara penuh dan kebebasan ekonomi berharap Negara kita maju seperti apa yang dicontohkan oleh barat. Kita menyerahkan semua kekayaan sumber daya kita kepada asing karena kita selalu beranggapan hanya bangsa lain atau bangsa asinglah yang mampu mengelola sumber daya kita dengan baik. Dalam bidang sosial dan budaya, para generasi muda kita menjadi sasaran empuk bagi produk asing mulai dari produk teknologi sampai dengan produk pakaian.

Style generasi muda kita pun sudah bergaya kebarat-baratan (Westernisasi) bahkan yang paling baru adalah budaya K-Pop (Korean Pop) dengan berwujud Boy Band dan sekutunya yang sedang laris di media massa Nasional. Bahkan di bidang Pendidikan kita sangat terlihat dikelola dengan gaya mental inlander, seperti maraknya Sekolah Bertaraf Internasional, kampus-kampus dengan bangganya menggaungkan World Class University, Manajamen mutu atau ISO yang telah  di standarkan oleh UNESCO, dan Manajemen Berbasis Sekolah atau Total Quality Manajemen in Education yang dulunya sukses diterapkan di dunia bisnis di barat. Semuanya di standarisasikan oleh bangsa lain, kita selalu lupa bahwa hanya yang membuat standar lah yang mampu mencapai standar itu sendiri. Seakan-akan kita tidak mampu mengelola semuanya dengan gaya kita sendiri. Berkat mental inlander yang diderita oleh para elit penguasa kita, bangsa ini seakan kehilangan arah dan jati diri bangsa terkikis.

Penelitian menarik yang dilakukan oleh Frantz Fanon tentang “Psikologi Kaum Tertindas”. Dalam salah satu karyanya yang berjudul The Wretched of the Erth (1961) menyebutkan bahwa mentalitas para elit, kaum berjuasi dan bahkan rakyat jelata dari bangsa bangsa bekas bangsa yang terjajah meneruskan relasi neo-kolonialisme dan terus menjual negeri mereka dengan menjual kekayaan alam dan bahan mentah murah bagi perkembangan industri negara bekas penjajah mereka. Bahkan mereka membangun tempat-tempat peristirahatan mewah untuk menampung liburan bangsa bekas penjajah mereka, mereka bergaya, berpakaian dan berselera meniru selera bangsa yang menjajah mereka.

Oleh karena itu Frantz Fanon sangat meragukan manfaat dan adanya kebaikan para kelas menengah dan elit borjuasi bangsa neo-kolonial bagi kesejahteraan ataupun pemberdayaan dan pendidikan kesadaran kritis bagi rakyat keseluruhan. Atas dasar analisisnya terhadap psikologis para burjuasi bangsa bekas terjajah itulah, selanjutnya Fanon mengembangkan gagasannya mengenai pembebasan dimana tema sentral gagasan pembebasannya berfokus dan memprioritaskan pada pembebasan manusia bangsa terjajah dari mentalitas kolonial atau ‘colonial mind ’’ tersebut. Ketika harus menjawab pertanyaan bagaimana proses pembebasan dilakukan? Fanon memfokuskan gagasannya melalui pendidikan politik rakyat untuk membangun budaya nasional bangsa sebagai alternative sekaligus sebagai sarana untuk melakukan aksi perlawanan kultural terhadap budaya penjajah yang pada zaman dan kontek pada waktu gagasan itu dikembangkan adalah budaya Barat (dalam Mansour Fakih dkk, 2000).

Merujuk pada pada penelitian Fanon dengan melihat kondisi elit bangsa ini yang masih kental dengan “Mental Inlandernya” dalam mengelola semua aspek kehidupan yang ada maka sangat urgensi untuk diterapkannya Pendidikan kritis yang meletakkan dasar “Pendidikan Bagi Kaum Terjajah”. Hakekat ‘pembebasan” adalah suatu proses bangkitnya “kesadaran kritis” rakyat terhadap sistem dan struktur sosial yang menindas. Pembebasan bagi mereka tidak saja terbebas dari kesulitan aspek material saja, tapi juga adanya ruang kebebasan dari aspek spiritual, idologi maupun kultural. Bahwa sesungguhnya rakyat memerlukan tidak saja bebas dari kelaparan, tetapi juga “bebas” untuk mencipta dan menkonstruksi dan untuk bercita-cita. Sehingga kita terbebas dari jeratan “Mental Inlander” yang merusak sendi-sendi kehidupan bangsa ini. Artinya bangsa ini memang sudah merdeka secara “de facto” dan “de jure” akan tetapi belum merdeka secara mentalitas dan jiwa. Bukankah kemajuan suatu bangsa lebih ditentukan oleh watak dan mental dari penduduknya??

Tinggalkan komentar